Rabu, 26 Februari 2014
Arya menutup laptopnya dan bersandar di kursinya. Nafasnya terhela pelan. Dilihatnya jam Rolex Submariner miliknya, jarum jam menunjukkan pukul sebelas lebih empat puluh tujuh menit. Jendela kantornya memajang langit malam kota Jakarta. Langit betul - betul gelap. Arya baru saja selesai menggulung lengan bajunya ketika tepat handphone bergetar. Dilihatnya nama Jingga muncul di layar. Seketika dia ragu, ingin mengangkat teleponnya atau tidak. Terlalu lama, telepon dari perempuan itu berhenti. Tak lebih dari sepuluh detik, dering tanda pesan masuk berbunyi. Arya melirik, pesan dari Jingga. "Kamu dimana? masih di kantor? Kok telepon aku nggak diangkat?". Arya semakin enggan menyentuh handphonenya.
Minggu, 23 Februari 2014
Angin Musim Panas
Nata menolehkan wajahnya kearah pintu, dadannya terlentang di lantai kayu tempat tinggalnya itu. Cahaya matahari dan angin musim panas menyusup lewat celah pintunya yang terbuka. Menenangkan. Gemerincing lonceng angin yang tergantung di langit-langit menambah ketenangan suasana yang sedang dinikmati Nata. Dari kejauhan, sayup terdengar debur ombak pantai. Nata berasumsi pasti pantai sedang ramai dikunjungi orang. Dia ingat dulu sering berkunjung ke pantai itu bersama teman kecilnya di panti dulu. Pantai dan panti, hilangnya satu huruf saya sudah mengubah nuansa di dalamnya. Nata tercenung, angin musim panas yang menyusup membawa memori tentang Kaze, teman kecilnya di panti, kembali masuk dalam memorinya.
Senin, 17 Februari 2014
Drama Rahasia
"Aku mau kita putus"
"Kenapa?"
Mara terdiam. Ada terlalu banyak rahasia yang dia tidak sampaikan pada perempuan yang ada di depannya itu. Dia butuh topeng, seperti kata seorang anonim - kalau kau ingin seorang pria berkata jujur, berikan ia sebuah topeng. Jantungnya berdegup kencang dan dia berharap perempuan itu tidak mendengar gemuruh tersebut. Perempuan ini terlalu rapuh, dan Mara yakin dia tak akan sanggup menerima rahasia yang disimpan Mara.
"Ada hal - hal yang tak butuh alasan"
"Tapi aku butuh. Aku pengecualian"
"Ya sudah kalau begitu, aku tak mencintaimu lagi."
"Tapi kenapa?"
"Rasa itu sudah hilang. Dan aku sudah terlalu malas untuk mencarinya lagi."
Lalu mereka berdua terdiam. Angin pelan terasa menusuk. Mereka masih saling berhadapan, tapi tak menatap. Mara tak tahan, dia memilih berbalik badan dan melangkahkan kakinya. Perempuan itu mengangkat wajahnya menatap punggung Mara yang bergerak menjauh. Dia masih diam. Mara tak lagi menoleh. Pikirannya kacau, dia harus bertemu seseorang. Dia sudah terlanjur jujur pada perempuan itu dan untuk orang yang akan dia temui ini, Mara pun harus jujur. Dia sudah tak tahan.
***
***
"Aku mau kita putus" kata Luna sambil menatap lekat mata laki - laki di depannya.
"Kenapa?"
"Masing - masing kita punya rahasia Tav. Aku, dirimu, semua orang"
Laki - laki itu, Tavsan, mematung. Tak sepatah katapun kata keluar dari mulutnya. Dia hanya menatap mata Luna lekat. Luna memberi senyuman pahit. Sepahit rahasia yang diketahuinya.
"Rahasia apa yang kau sembunyikan?"
"Tak perlulah kita membahasnya Tav. Aku pun tak ingin membahas rahasiamu"
Tavsan tercekat. Detak jantungnya bertambah cepat dalam sedetik. Kerongkongannya kering, ludahnya bahkan sudah terlalu susah masuk kedalamnya.
"Tapi aku masih mencintaimu"
"Aku pun. Tapi kita tak mesti bersama." Tak ada lagi yang bicara. Mereka diam tertunduk. Luna jadi orang pertama yang mengangkat kepalanya. Dia menatap Tavsan, laki - laki yang sudah menjadi kekasihnya hampir tiga tahun. Luna memecah keheningan.
"Aku pergi dulu. Aku harus mengejar cintaku. Kau pun harus begitu" Lalu dikecupnya pipi Tavsan pelan. Jemarinya menelusuri rahang tegas milik wajah laki-laki itu. Tavsan mengangkat wajahnya, dilihatnya senyum Luna. Perempuan itu lalu berbalik, melangkah pada jalan di depannya. Tavsa masih menatap punggung Luna kira - kira sepuluh detik. Seperti Luna, Tavsan pun berbalik dan melanjutkan langkahnya. Perempuan itu telah tahu rahasianya, tapi Tavsan tak tahu apa yang Luna sembunyikan. Terkadang hidup tak seadil itu. Tapi Tavsan pun bukanlah orang yang terlalu penuntut. Dia lebih memilih melanjutkan cerita tentang rahasianya. Hari sudah mulai gelap.
***
Langganan:
Komentar (Atom)