Aku baru saja membuka pintu rumahku, ketika tiba-tiba seorang laki - laki seusiaku muncul dengan nafas terengah. Pagi baru saja datang bersama kabut dingin, dan aku yakin sekali dia habis berlari entah mengejar atau dikejar oleh sesuatu. Responku sama seperti kebanyakan orang ketika ada bertemu orang tak mereka kenal, bingung dan menahan nafas. Bedanya aku tidak segera menutup pintu ataupun membentaknya. Laki - laki ini tidak melewati jarak personalku, dia masih ada di ujung teras rumahku yang berlantai kayu. Setelah dia mengatur nafas, dia menatapku yang diam mengamatinya.
"Boleh aku masuk?" tanyanya. "Tentu saja tidak. Aku tidak mengenalmu" Balasku. "Tapi aku akan mengambilkan secangkir teh untukmu." Lelaki asing itu menolak, katanya tak perlu dan dia kesini hanya ingin mengatakan sesuatu. Aku bersiap mendengar keluar melewati pintu. Mempersilahkannya duduk di bangku terasku. Kami berdua lalu duduk mengamati padang rumput luas di depan rumahku.
"Bagaimana tidurmu malam tadi?"
"Aku tidak ingat. Biasa saja"
"Aku tidak ingat. Biasa saja"
"Kau tidak merasa aneh tinggal disini?"
"Tidak. Tempatnya sunyi. Bagus untukku." Kuberitahu kalian, aku tinggal di sebuah rumah atau pondok kecil mungkin kata yang lumayan tepat menggambarkannya. Letaknya, sendiri kaki gunung dengan pepohonan yang lebat. Padang rumput hijau melintang disebelah satunya. Pondok ini terbuat dari kayu-kau tua yang sudah berwarna keabuan dengan cerobong asap dari batu dan genting - genting tua. Suasanya sekitar senyap dan tenang. Di pondokku ini kau hanya bisa mendengar desau angin, gemerisik rumput, berisik serangga, dan suara alam.
"Tidak. Tempatnya sunyi. Bagus untukku." Kuberitahu kalian, aku tinggal di sebuah rumah atau pondok kecil mungkin kata yang lumayan tepat menggambarkannya. Letaknya, sendiri kaki gunung dengan pepohonan yang lebat. Padang rumput hijau melintang disebelah satunya. Pondok ini terbuat dari kayu-kau tua yang sudah berwarna keabuan dengan cerobong asap dari batu dan genting - genting tua. Suasanya sekitar senyap dan tenang. Di pondokku ini kau hanya bisa mendengar desau angin, gemerisik rumput, berisik serangga, dan suara alam.
"Kau ini aneh"
"Benar, makanya aku memilih tinggal disini. Kau lebih aneh lagi. Aku tidak mengenalmu dan kau mampir kesini?"
"Benar, makanya aku memilih tinggal disini. Kau lebih aneh lagi. Aku tidak mengenalmu dan kau mampir kesini?"
"Aku hanya ingin mampir"
"Orang yang aneh"
"Sama seperti komentarku padamu tadi" Mendengar responnya, aku terdiam sejenak dan sesungguhnya tidak memikirkan apapun. Orang tak dikenal ini pun tak bersuaran. Kami menikmati jeda hening diantara kami yang tanpa kuduga ternyata menyenangkan.
"Kenapa aku suka tinggal disini?"
"Sesungguhnya aku malas berinteraksi dengan orang"
"Kenapa aku suka tinggal disini?"
"Sesungguhnya aku malas berinteraksi dengan orang"
"Kenapa kau menyambutku?"
"Orang bisa saja berubah untuk satu waktu"
"Aku pun hampir sama sepertimu. Malas berinteraksi."
"Lalu kenapa kau menghampiri tempatku? Ini tempat yang sangat jauh"
"Sebenarnya aku pun tak menduga akan bertemu orang ditempat ini. Kupikir tadi ini pondok kosong"
"Nyatanya tidak. Kau kaget?"
"Sebenarnya tidak."
"Kenapa tadi nafasmu terengah? Kau habis berlari?"
"Aku tadi sebenarnya sedang mengejar sesuatu. Kuikuti, sampai dia masuk ke pondokmu."
"Oh ya? Seperti apa rupanya?"
"Aku tak bisa melihat dengan jelas, sosoknya terlalu terang untuk pagi yang masih subuh. Ukurannya seperti kancil, tapi dikelilingi cahaya. Dia melompat cepat sekali"
Aku tak membalas. Memikirkan sosok yang diceritakannya. Angin berdesau pelan.
"Kau mau teh?" Aku menawarinya lagi
"Boleh"
"Kau boleh masuk dan membuatnya sendiri. Aku masih ingin disini sebentar lagi"
"Kau ini aneh. Tapi baiklah, dan terimakasih."
Dia berlalu melewati aku. Tanpa alas kaki aku beranjak ke padang rumput yang masih basah oleh embun. Segar sekali rasanya. Aku berjalan cukup jauh tapi masih bisa melihat pondokku. Laki-laki itu tampak sedang menuang air panas untuk tehnya. Sebentar aku menatap kearah hutan dan menemukan sosok bercahaya yang diceritakan laki-laki itu. Dia tanpa wajah, tapi kami seolah saling menatap. Tidak, aku tidak memberi sosok itu respon apapun. Aku kembali pada arah pandanganku semula. Membelakangi pondok. Dan melanjutkan langkahku meresapi rumput basah. Menjauhi pondok. Sudah saatnya aku pergi.
-TS-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar